thanks

PAK ILUT UCAPKAN TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN NYA

tukar template

Change Background of This Blog!


dg

PAK ILUT AKAN TERUS BERKARYA SAMPAI MATI

baca di bawah ini ya!

Rabu, 20 Oktober 2010


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!

Sumpah Allah dalam Al-Qur’an


Pengertian Sumpah


Sementara ulama berpendapat bahwa sumpah tidak perlu diberikan definisi, sebab tanpa definisi pun manusia dengan mudah mengetahui apa yang dimaksud dengan sumpah itu (Muhammad Ibn Khalifah, 1994 : 868). Akan tetapi, pendapat tersebut tidak diterima begitu saja oleh ulama yang lain. Menurut mereka justru karena demikian lumrahnya sumpah itu, maka diperlukan adanya batasan-batasan yang jelas mengenai sumpah itu. Hal ini mengingat bahwa sumpah sering diungkapkan dalam berbagai macam cara dan lafal, sesuai dengan adat dan kebiasaan yang berlaku pada orang yang mengucapkannya.
Definisi sumpah diberikan oleh para ulama, antara lain Manna’ al-Qaththan dan Muhammad Husain al-Thabathaba’iy.
Menurut al-Qaththan, sumpah adalah suatu penegasan yang menggambarkan tekad yang kuat untuk meninggalkan atau melakukan suatu pekerjaan, lalu menghubungkannya dengan sesuatu yang dianggap agung, baik secara haqiqiy (sebenarnya) maupun i’tiqadiy, oleh orang yang bersumpah (lihat, Manna’ al-Qaththan, 1992 : 410). Sedangkan menurut Muhammad Husain al-Thabathaba’iy, sumpah adalah menciptakan suatu hubungan yang spesifik antara sebuah pernyataan (penegasan), baik dalam bentuk khabar (berita) ataupun bentuk insya’ (tuntutan) dengan sesuatu yang memiliki kekuasaan dan kemuliaan/keagungan menurut pandangan orang yang menyatakan sumpah (al-Thabathaba’iy, 1972 juz VII : 108).
Dari kedua definisi sumpah tersebut dapat dipahami bahwa sumpah adalah suatu penegasan yang sungguh-sungguh yang biasanya dikaitkan dengan akibat yang harus ditanggung oleh orang yang menyatakan sumpah, jika ternyata sumpahnya itu tidak benar atau dilanggar. Resiko sumpah itu tidak mungkin terjadi pada konteks sumpah-sumpah Tuhan. Pada sumpah Tuhan tidak mungkin dihubungkan dengan unsur resiko, sebagaimana hal itu dapat terjadi pada sumpah manusia, sebab Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di alam ini, tak ada satu wujud pun yang berada di atas Tuhan. Oleh karena itu, jika Tuhan bersumpah dengan waktu, tempat atau benda tertentu dari sebagian makhluk-Nya, maka Tuhan tak merasa takut akan menanggung resiko tertentu yang berasal dari ciptaan-Nya. Hal itu mustahil terjadi, bahkan jangan sampai terlintas dalam benak pemikiran manusia anggapan bahwa Tuhan pun menghadapi resiko kalau Tuhan melanggar sumpah-Nya. Dalam akidah Islam, tidak benar anggapan serupa itu, mengingat Tuhan adalah zat Yang Maha Sempurna, dan tak mungkin Tuhan bersumpah tidak benar, juga tak mungkin Tuhan melanggar sumpah-Nya, bahkan Tuhan seharusnya diyakini tidak mengingkari janji-Nya. Semua yang ditegaskan-Nya dalam Al-Qur’an adalah benar dan mengandung kebenaran.
Tampaknya tidak dijumpai definisi tentang sumpah Tuhan, tetapi berdasarkan definisi sumpah yang telah disebutkan sebelumnya dan dengan memperhatikan sumpah-sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an dan dalam berbagai rujukan tentang hal tersebut, kiranya dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan sumpah Tuhan adalah ”penetapan kepastian dan penegasan Tuhan dengan mempergunakan lafal-lafal tertentu serta obyek-obyek tertentu pula, baik dengan menyebut zat-Nya sendiri maupun dengan menyebut makhluk-Nya, yang menarik perhatian mitra bicara (mukhathab) untuk mengarahkan perhatian mereka pada informasi yang akan disampaikan.”
Pengertian serupa itulah yang dapat disimak dari literatur Ulum al-Qur’an sebagai aqsam al-qur’an (sumpah-sumpah Al-Qur’an). Istilah ini mesti dibedakan dengan istilah al-aqsam fi al-qur’an (sumpah-sumpah dalam Al-Qur’an), sebab untuk istilah yang pertama, yang menjadi subyek sumpah (al-muqsin) adalah Tuhan, sedangkan untuk istilah kedua mengandung pengertian yang lebih umum. Subyeknya bisa Tuhan, bisa pula yang lainnya.
Menurut hasil pengamatan Jumhur ulama, Allah bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebutkan zat-Nya, pada 8 (delapan) tempat yaitu : QS. Al-Nisa’ (4): 65 ; QS. Al-Hijr (15): 92 ; QS. Maryam (19): 68 ; QS. Al-Dzaiyat (51): 23 ; QS. Al-Ma’arij (70): 40 ; QS. Yunus (10): 53 ; QS. Saba’ (34): 3 ; dan QS al-Taghabun (64): 7. Ini merupakan hasil kesimpulan dari pendapat-pendapat yang telah dikemukakan oleh para ulama tentang sumpah-sumpah Tuhan yang menggunakan zat-Nya. Dalam hal ini mereka berbeda pendapat, dan perbedaan itu terjadi selain karena adanya kekeliruan dalam menyebutkan ayat-ayat yang termasuk kategori sumpah Tuhan dengan menyebut zat-Nya, juga karena terdapat segi perbedaan mereka dalam masalah lain, misalnya perbedaan dalam menyoroti posisi surat Al-Syams (91): 5-7.
Perbedaan pendapat ulama juga terjadi dalam konteks sumpah Tuhan dengan menyebutkan makhluk-Nya. Namun, perbedaan mereka disini lebih sederhana, hanya menyangkut perincian pada obyek-obyek yang digunakan oleh Tuhan dalam bersumpah. Sebagian ulama memberikan perincian sedangkan yang lainnya tidak memberikan perinciannya.
Muhammad Bakr Isma’il misalnya, menyebutkan beberapa obyek yang dijadikan oleh Tuhan sebagai obyek sumpah-Nya, yaitu: sumpah Tuhan dengan Nabi-Nya; dengan Malaikat; dan dengan menyebut angin (1991 : 365-366). Tetapi tampaknya langkah seeprti ini agak sulit, selain karena terlalu banyak macam obyek yang digunakan untuk bersumpah, juga karena adanya perbedaan dalam menafsirkan beberapa obyek tertentu dalam Al-Qur’an yang digunakan untuk bersumpah. Misalnya obyek al-Nazi’at dalam QS. Al-Nazi’at (79): 1. sebagian ulama menafsirkan obyek ini dengan ”Malaikat-malaikat pencabut ruh”, sedangkan ulama lainnya menafsirkannya dengan ”kuda-kuda yang menyerang”. (lihat, Bint al-Syathi’, 1977 juz I : 123)
Istilah Sumpah Dalam Al-Qur’an
Di dalam Al-Qur’an ada tiga macam term yang lazim diterjemahkan dengan sumpah secara umum. Ketiga term yang dimaksud adalah al-qasam, al-hilf, dan al-yamin. Secara leksikal term-term ini memiliki makna yang sama dan masing-masing dari term itu dapat ditafsirkan dengan lainnya. Dalam Lisan al-’Arab misalnya ditemukan pernyataan-pernyataan : al-halif wa al-hilf qasam lughatan (secara bahasa, al-halif dan al-hilf adalah bermakna qasam (sumpah), atau al-qasam huwa al-yamin (al-qasam tiada lain adalah al-yamin), dan al-yamin huwa al-halif wa al-qasam (bahwa al-yamin adalah al-halif dan al-qasam) (lihat, Ibn Manzur, t. th. Juz X : 397, juz XV : 381, dan juz XVII : 356).
Meskipun memiliki makna yang sama dari aspek leksikal, tetapi dari aspek etimologi (pengertian menururt asal-usul kata), ketiga term tersebut memiliki spesifikasi dan makna dasar yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Menururt Abu Hilal al-Askariy, bahwa antara term al-qasam dengan term al-hilf terdapat perbedaan kandungan makna. Lebih jauh ia menjelaskan :
Perbedaan al-qasam dan al-hilf adalah al-qasam memiliki makna yang lebih luas dari pada al-hilf, sebab makna pernyataan ”Uqsimu bi Allah (saya bersumpah dengan nama Allah) ialah bahwa orang yang bersumpah itu telah memiliki qasam (bagian) dengan nama Allah. Qasam di sini yang dimaksud ialah bagian. Maksudnya, bahwa harta apa saja yang ia katakan dalam pernyataan sumpahnya telah menjadi bagian pemeliharaan-Nya dan karena itu ia menolak bermusuhan dengan orang lain disebabkan oleh harta tersebut. Sedangkan al-hilf berasal dari pernyataan ”saif halif”, artinya pedang yang tajam atau suka memotong. Maksudnya, bahwa orang yang bersumpah dengan al-hilf berarti ia telah memutuskan untuk tidak bermusuhan dengan orang lain disebabkan harta itu dengan mengatasnamakan Allah. (lihat, Abu Hilal al-Askariy, 1973 : 47).
Dari penjelasan ini kita melihat bahwa menurut Abu Hilal, orang yang bersumpah dengan menggunakan term al-qasam berarti ia telah menyatakan bahwa sesuatu yang ia nyatakan dalam sumpahnya telah menjadi miliknya. Sebab itu, dengan nama Allah, ia menegaskan tidak mau bermusuhan dengan orang lain untuk memperebutkannya. Sedangkan sumpah dengan menggunakan term al-hilf, hanya terkandung satu pengertian, yaitu ketidak inginan  bermusuhan dengan orang lain atas nama Allah.
Di dalam Al-Qur’an, term al-qasam dan al-hilf juga ditemukan penggunaannya. Kedua term tersebut, dalam Al-Qur’an, umumnya diungkap dalam bentuk kata kerja. Hal ini tampak menunjukkan bahwa kedua term tersebut digunakan oleh Al-Qur’an untuk menunjukkan perbuatan atau kegiatan bersumpah.
Memang Al-Qur’an menggunakan kedua term tersebut dalam pengertian yang berbeda. Bint al-Syathi’ sangat berjasa dalam membuktikan perbedaan ini. Menurut pendapatnya, kata aqsama biasa disamakan dengan kata halafa yang artinya bersumpah. Keduanya sangat berbeda. Berdasarkan survei deduktif dari seluruh tempat di dalam Al-Qur’an yang dilakukannya terungkap bahwa kata aqsama digunakan untuk jenis sumpah sejati yang tidak pernah diniatkan untuk dilanggar, sementara halafa selalu digunakan untuk menunjukkan sumpah-sumpah palsu yang suka dilanggar (Bint al-Syathi’, 1997, juz I : 167-168).
Makna Sumpah Allah
Selain bersumpah dengan zat-Nya, di dalam Al-Qur’an, Tuhan pun bersumpah dengan menggunakan sebagian dari makhluk-Nya sebagai obyek-obyek sumpah, seperti waktu, tempat, Al-Qur’an, dan benda-benda tertentu. Jika yang menggunakan sumpah (al-muqsim) adalah manusia, maka sumpah yang menggunakan obyek makhluk Tuhan, terlarang, karena bisa membawa pada kekufuran atau kemusyrikan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah menegaskan : Man halafa bighair Allah faqad asyraka (barang siapa yang bersumpah dengan (menyebut) selain Allah, maka ia musyrik). Atas dasar hadits tersebut, di dalam bersumpah, seseorang dilarang menyebutkan muqsam bih selain Allah SWT.
Seperti dijelaskan sebelumnya, manusia biasanya bersumpah dengan sesuatu yang diagungkan dan dihormati, yakni sesuatu yang membuatnya bisa ditimpa suatu akibat buruk apabila ia melanggar sumpahnya. Hal itu tidak mungkin terjadi pada sumpah-sumpah Tuhan. Dengan sumpah-Nya Tuhan tidak akan menerima akibat apa pun. Kita berlindung kepada Allah dari adanya anggapan yang keliru, yaitu bahwa Allah bisa menerima akibat-akibat tertentu disebabkan oleh sumpah-Nya. Menurut Muhammad Abduh, sebenarnya Allah tidak sedikit pun perlu menguatkan pernyataan-Nya dengan bersumpah dengan sesuatu yang merupakan produk kuasa-Nya (makhluk-Nya) sendiri. Hal ini mengingat tak ada satu pun dalam wujud ini yang laik dihargai apabila diperbandingkan dengan penghargaan yang seharusnya diberikan kepada-Nya (Muhammad Abduh, tafsir Juz ’Amma, t. th, h. 9-10).
Akan tetapi, mengapa di dalam Al-Qur’an dijumpai sumpah-sumpah Tuhan yang menggunakan obyek dari makhluk-Nya? Pertanyaan ini muncul terutama disebabkan oleh adanya beberapa hadits Nabi yang mengandung larangan kepada manusia bersumpah dengan selain nama-Nya karena akan membawa pada kemusyrikan. Lalu, apakah antara Al-Qur’an dan al-Hadits terjadi kontradiksi?
Para ulama telah beruasaha melakukan penyelesaian dalam rangka menghilangkan adanya kesan pertentangan antara keduanya. Pertama, bahwa pada sumpah-sumpah yang menggunakan muqsam bih berupa makhluk, seharusnya ada kata yang dibuang, yaitu kata rabb, sehingga yang dimaksud dengan, misalnya sumpah Tuhan wa al-Tin (Demi buah Tin) sebenarnya adalah wa rabb al-Tin (Demi Tuhan buah Tin); kedua, bahwa nama-nama makhluk yang digunakan Tuhan dalam sumpah-Nya itu merupakan sesuatu yang amat penting, mengagumkan, dan mendapatkan perhatian besar bangsa Arab, sehingga mereka pun menggunakannya dalam bersumpah. Al-Qur’an hadir dengan membawa cita rasa sastera, wawasan pengetahuan dan tradisi mereka, maka Tuhan pun menjadikan benda-benda itu sebagai obyek sumpah; dan ketiga, obyek yang digunkan dalam bersumpah harus merupakan sesuatu yang diagungkan atau disucikan dan derajatnya lebih tinggi dari yang menggunakan, sedangkan kenyataannya tidak ada lagi sesuatu yang lebih tinggi dari Tuhan. Maka, ia dapat saja dengan bebas menggunakan segala sesuatu sebagai obyek sumpah, baik nama diri atau zat-Nya maupun makhuk-Nya (alSuyuthi, t. th. , juz II : 134, juga al-Zarkasyi, t. th. , juz III : 41-42).
Jadi, meskipun terdapat sumpah-sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an yang menggunakan makhluk-Nya sebagai obyek sumpah, tetapi manusia tetap dilarang menggunakan hal yang sama. Ketentuan sepeerti itu hanya berlaku bagi Tuhan. Tuhan bisa saja melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya, termasuk bersumpah dengan zat-Nya atau dengan ciptaan-Nya. Pertanyaannya adalah mengapa Tuhan hanya memilih dan menetapkan sebagian saja dari ciptaan-Nya, tidak semuanya, dan mengapa obyek-obyek tertentu yang dipilih, bukan yang lain? Tentu saja hal tersebut mempunyai tujuan dan maksud tertentu. Karena itu, pertanyaan lanjutannya yang perlu segera mendapatkan jawaban adalah apakah hikmah di balik pilihan Tuhan terhadap sebagian makhluk-Nya untuk digunakan sebagai obyek dalam sumpah-Nya?
Ibn Abi al-Ishba, juga Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan : wa aqsamuhu ta’ala bi ba’dhi makhluqatihi dalil ’ala azhim ayatih (lihat, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, t. th : 3) = bahwa sumpah-sumpah Tuhan dengan (menyebut) sebahagian makhluknya menunjukkan bahwa makhluk tersebut termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya yang penting/agung. Dalam kata lain, hal yang disebut dalam posisi muqsam bih itu memang sesuatu yang amat penting yang perlu diperhatikan dan di apresiasi oleh manusia yang merupakan mitra bicara Tuhan dalam sumpah-Nya.
Dengan demikian, manakala Tuhan bersumpah, misalnya dalam QS. Al-Syams/ 91 : 1, wa al-Syamsi, maka terjemahan ungkapan tersebut yang paling tepat adalah ”alangkah pentingnya matahari itu”, bukan ”demi matahari”. Pemahaman serupa itu diambil sejalan dengan maksud penyebutannya oleh Tuhan dalam sumpah-Nya itu, yaitu sebagai ”dalil ’ala azhim ayatih” (dalil bahwa ia termasuk ayat Tuhan yang agung/penting). Sasarannya adalah agar manusia benar-benar dapat menangkap makna pentingnya keberadaan matahari itu dalam keseluruhan tata kehidupan makhluk seluruhnya, khususnya manusi. Dalam langkah selanjutnya, manusia diharapkan mampu melakukan penelitian untuk mengetahui secara akademik di mana letak atau posisi pentingnya keberadaan matahari. Sampai sekarang, sudahkah umat Islam mampu menangkap makna penting dari keberadaan matahari? Sudah mampukah umat Islam menangkap dengan tepat makna pentingnya kata ”al-’Ashr” yang digunakan sebagai muqsam bih dalam sumpah Tuhan pada QS. Al-’Ashr/103, ayat 1 ? Sudahkah umat Islam memahami keseluruhan muqsam bih dalam sumpah-Nya yang menyebutkan makhluk-makhluk-Nya ? Wallahu a’lam. Namun seyogianya umat Islam, terutama para pakar Al-Qur’an, memahami makna pentingnya muqsam bih-muqsam bih dalam sumpah Tuhan itu, agar mereka mampu menangkap yang lebih dalam lagi, yaitu ”wa aqsamuhu ta’ala bi ba’dhi makhluqatihi tufidu li’uzhmat al-Khaliq (bahwa sumpah-sumpah Tuhan dengan menyebutkan sebagian makhluk-Nya membawa faedah pada pengagungan Tuhan Maha Pencipta). Inilah makna terpenting dari sumpah-sumpah Tuhan yang menggunakan makhluk ciptaan-Nya.
Muhammad Abduh berkomentar, sekiranya kita meneliti kembali sumpah-sumpah Tuhan dalm Al-Qur’an, akan tampak bahwa benda-benda yang digunakan Tuhan bersumpah mestilah merupakan hal-hal yang diremehkan karena ketidaktahuan akan faedahnya dan ketidakmampuan dalam menangkap ’ibrah (pelajaran) yang dikandungnya, atau disebabkan oleh kebutaan terhadap kandungan hikmah Allah dalam ciptaan-Nya, atau terjadi persepsi yang keliru terhadapnya, sehingga melampaui kebenaran yang telah ditetapkan oleh-Nya terhadapnya (Muhammad Abduh, op.cit. h. 10).
Penutup

Demikianlah kajian singkat sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an yang pada garis besarnya terdapat dua kategori sumpah. Pertama, kategori sumpah dengan menyebutkan zat-Nya (yaitu kata rabb) yang terdapat dalam delapan tempat. Kategori kedua, adalah sumpah Tuhan dengan menyebutkan sebahagian makhluk-Nya yang terdapat dalam banyak tempat dalam Al-Qur’an, baik dengan menyebut Nabi, Malaikat, Al-Qur’an tempat-tempat tertentu yang dimuliakan maupun waktu-waktu penting yang ditonjolkan. Sumpah-sumpah Tuhan dengan menyebutkan zat-Nya bermakna bahwa Tuhan lebih menonjolkan sisi rububiyyah-Nya (Kemahabaikan-Nya),  sedangkan sumpah-sumpahNya dengan menyebut sebagian makhluk-Nya menunjukkan bahwa makhluk-makhluk-Nya itu sangat penting.
Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA

0 komentar:

Posting Komentar

ikan ku

motivasi