thanks

PAK ILUT UCAPKAN TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN NYA

tukar template

Change Background of This Blog!


dg

PAK ILUT AKAN TERUS BERKARYA SAMPAI MATI

baca di bawah ini ya!

Senin, 01 November 2010

0 posisi ahli sunnah waljamaah dalam pandangan ulama


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!
Siapakah Sebenarnya
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
oleh: Ade Subandi
Kampungsekolah.wordpress.com “UMAT Islam Indonesia adalah terbesar di dunia dan keyakinan mereka pada umumnya berlandaskan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Namun, karena adanya berbagai wadah organisasi yang berbeda, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al-Irsyad, Persis, Perti, dan lain-lain, sering terjadi perselisihan tajam. Apa pokok soal yang kerap jadi bahan perselisihan?
Menurut hemat penulis, hal itu disebabkan oleh pemahaman mereka tentang Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang belum jelas dan seragam. Padahal pedoman Ahlus Sunnah Wal Jamaah bisa menjadi pemersatu bagi kekuatan umat Islam Indonesia. Penulis mengangkat masalah ini sebagai bahan kajian secara epistemologis agar dapat dicari akar masalahnya demi terbentuknya Ukhuwah Islamiyyah.
Selama pengertian Ahlus Sunnah Wal Jamaah belum jelas, klaim golongan akan terus berlanjut dan akan menjadi preseden buruk bagi keutuhan umat. Jika penulis bisa mengemukakan argumentasi yang sulit dibantah, itu berarti kebenaran harus diterima dengan lapang dada, hingga keberadaan berbagai organisasi itu tidak lagi menjadi sekat-sekat sempit bagi umat Islam untuk saling memojokkan atau melakukan klaim sepihak sebagai kelompok yang paling benar dan paling berhak menyandang predikat Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Definisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah
“Ahlus Sunnah” secara etimologis berarti:
jalan yang baik maupun yang buruk (Al Misbahul Munir, juz 1, hal 312). Seperti sabda Rasulullah SAW.: “Barangsiapa yang menempuh jalan yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya, dan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikit pun. Dan barangsiapa yang menempuh jalan yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya, dan dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikit pun. (HSR. Muslim dalam Kitab Al-Umm, juz 8, hal 61).
Adapun Ahlus Sunnah menurut epistimologi syara’ (syari’ah) mempunyai beberapa pengertian.
Pertama, bermakna “sejarah kehidupan Nabi” seperti pendapat Ibnu Fatih (Ahmad bin Fatih Al Uwaini – tokoh sastra dan bahasa, (L. 329 – W. 395 H), Mu’jam Maqayis ul lughah).
Kedua, “Ahlus Sunnah” menurut istilah Ahli Hadits yaitu: “Segala sesuatu yang diperoleh dari Nabi Muhammad SAW baik ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau” (Ibnu Hajar Al Asqalany, Fathul Baari, juz 13, hal 245). Ketiga, “Ahlus Sunnah” menurut istilah para Fuqaha (Ahli Fiqh), yaitu: “Segala amalan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW yang apabila dikerjakan berpahala dan apabila ditinggalkan tidak apa-apa”.
Pengertian “Ahlus Sunnah” yang dimaksud mengarah pada bentuk istilah yang mengandung keyakinan atau trend tertentu yang membedakannya dengan kelompok lain. Kontradiksi As Sunnah adalah Al Bid’ah (sesuatu yang diada-adakan dalam agama). Karena itu, orang yang menetapi As-Sunnah disebut “Ahlus Sunnah” dan orang yang menetapi Bid’ah disebut “Ahlul Bid’ah”.
Ketiga, definisi Ibnu Rajab Al Hanbaly (Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab, ulama besar dari Baghdad, lahir di Damaskus (L. 706 H. W. 795 H) terhadap pengertian “Ahlus Sunnah” adalah: “Jalan kehidupan nabi dan para sahabatnya yang selamat dari syubhat (pemikiran yang merusak) dan syahwat (hawa nafsu)”. Kemudian pengertian “Ahlus Sunnah” ini menjadi terkenal pada masa-masa terakhir menunjuk pada kelompok Ahlul Hadits dan yang semanhaj mereka, dimana ia merupakan suatu keyakinan yang selamat dari berbagai macam pemikiran menyimpang terutama dalam masalah-masalah keimanan pada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para Rasul dan Hari Kemudian serta masalah takdir dan keutamaan-keutamaan para sahabat. Untuk menjelaskan keyakinan itu, para ulama mengarang kitab dengan sebutan “As-Sunnah”. Ilmu ini disebut “As-Sunnah” karena permasalahannya sangat menentukan dan yang menyalahinya ibarat berada di tepi jurang kehancuran (Kasyful Qurbah, Ibnu Rajab, hal 11-12).
Keempat, Ibnu Hazm menjelaskan: “Ahlu Sunnah adalah orang yang berjalan di atas kebenaran, lawan dari Ahlul Bid’ah. Mereka itu (Ahlus Sunnah) terdiri dari para sahabat dan siapa saja yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in, para ulama, Ahlul Hadits dan para fuqaha dari generasi ke generasi sampai hari ini, serta siapa saja dari kalangan awam yang mengikuti mereka baik di Barat maupun di Timur (Al-Fishaal, juz 2, hal 107).
Kelima, Ibnu Taimiyyah menjelaskan: “Mereka disebut “Ahlus Sunnah” karena mereka mengikuti Sunnah Rasulullah SAW” (Al Muntaqo, hal 189).
Adapun definisi “Al-Jama’ah” adalah: “Jamaah umat Islam seperti dalam hadits Hudzaifah bin Yaman ra. “Engkau berpegang kepada jamaah umat Islam dan iman mereka” (HR Bukhari dan Muslim). Sedang Abdullah bin Mas’ud ra. mendefinisikan Jama’ah dengan “memegangi kebenaran meskipun sendiri” (Riwayat Al Lalikai). Dalam sebuah hadits disebutkan oleh Rasulullah SAW. bahwa “Jamaah” itu adalah mayoritas umat Islam.
Jadi Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah mereka yang menetapi Sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya, dan selalu berkumpul membawa kebenaran serta jauh dari perpecahan.
Asal Usul Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah golongan yang menetapi kebenaran yang bersumber dari wahyu. Lawan Ahlus Sunnah adalah mereka yang terbawa oleh akal fikiran dan hawa nafsunya sehingga menakwilkan atau menyimpangkan wahyu dari ketentuan yang benar. Para ulama sepakat bahwa penyimpangan pertama terjadi ketika Iblis diperintahkan oleh Allah SWT. untuk sujud kepada Adam, tetapi dia menolak dengan penuh kesombongan (QS. Al-Baqarah 2:34), lalu berdalih untuk melawan ketentuan wahyu. “Saya lebih baik daripada dia (Adam). Engkau ciptakan aku dari api, sedang Engkau ciptakan dia dari tanah (QS. Shad: 76).
Pada masa Nabi Muhammad SAW. benih-benih penentangan terhadap wahyu dengan menggunakan logika, juga dimiliki oleh kaum Munafiqin dan Ahlu Kitab. Peristiwa itu semakin jelas ketika seorang bernama Zil Huwaisyirah (yang kemudian menjadi cikal bakal kelahiran kelompok Khawarij) menentang Rasulullah SAW dalam riwayat berikut ini: “Ketika Rasulullah SAW. membagi-bagikan ghanimah (rampasan perang), Abdullah Zul Huwaisyirah At Tamimi datang seraya berkata: “Berbuat adillah wahai Rasulullah !” Beliau menjawab: “Celaka kamu ! Siapa lagi yang berbuat adil kalau aku tidak berbuat adil ?” Umar Bin Khattab ra. berkata:”Idzinkan aku memenggal leher orang ini”. Tapi beliau menimpali: “Biarlah, orang ini punya pengikut. Kalian akan merasa lemah shalatnya dibanding dengan shalatnya, puasa kalian dibanding dengan puasanya, mereka keluar dari Agama seperti keluarnya panah dari busur…. Tanda-tanda mereka ada benjolan di dadanya seperti payudara wanita atau seperti gumpalan. Mereka keluar (dengan senjata) pada saat manusia sedang berselisih” (HSR. Bukhari dan Muslim).
Abu Said ra., seorang shahabat Nabi SAW. berkomentar: “Aku bersaksi bahwa aku mendengar berita itu dari Nabi (SAW) dan aku bersaksi bahwa Ali telah memerangi mereka dan saya bersamanya. Dan mereka yang tertangkap persis seperti yang disifatkan oleh Nabi SAW.” (HSR. Bukhari). Mereka itulah kaum Khawarij yang mengkafirkan orang Islam yang bukan golongannya dan mengkafirkan pelaku dosa besar.
Dr. Ali bin Muhammad Al Faqihi, dalam komentarnya terhadap kitab “Al-Iman” karangan Ibnu Mandah, berkata: “Firqah (golongan) yang pertama kali lahir adalah Khawarij. Mereka keluar dengan senjata menentang Ali ra. dan Muawiyah ra. Kemudian lahirlah Syiah yang mendukung Ali bin Abi Thalib ra. menurut klaim mereka. Setelah itu bermunculanlah Qadariyah, Jabbariyah, Murji’ah, Jahmiyah dan Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah, menyusul kemudian Asy’ariyah”. Karenanya, Abu Yusuf bin Asbath mengulas: “Ahlul Bid’ah itu ada empat: Rawafidh (ghulatus syiah- Syi’ah yang paling sesat), Khawarij, Qodariyah dan Murjiah”. Masing-masing golongan itu terpecah menjadi 18 golongan sehingga menjadi 72 golongan dan yang ke 73 adalah Al-Jama’ah sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah SAW. sebagai “Golongan yang Selamat” (Al-Firqatun Najiyah) (Al-Ibanah, juz 1, hal 377. Lihat kitab “Dirosat Fil Ahwal Wal Firoq Wal Bida’” oleh Dr. Nashir Al-Aql).
Kembali pada masalah Ahlu Sunnah Wal Jamaah, siapakah yang menggunakan istilah tersebut pertama kali ? Sebenarnya isyarat nama Ahlu Sunnah Wal Jamaah itu sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Terutama ketika Nabi Muhammad SAW. memprediksikan akan adanya perpecahan seperti dalam riwayat di bawah ini:
Artinya :
“Sesungguhnya yang hidup di antara kalian sesudahku, akan melihat perselisihan yang banyak. Kalian harus berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpeganglah dengannya kuat-kuat dan gigitlah dengan gerahammu. Jauhilah dari masalah-masalah yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dan derajat hadits ini shahih)
(arab)
Artinya :
“Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, satu di surga 70 masuk neraka. Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, 71 masuk neraka dan yang satu masuk surga. Dan demi jiwaku yang ada di Tangan-Nya, umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, satu di surga dan 72 lainnya di neraka” Kemudian Rasulullah SAW. ditanya: “Wahai Rasulullah siapakah mereka ?” Beliau menjawab: “Al Jamaah” (HR. Ibnu Majah dan derajat hadits ini shahih).
Ciri lain dari satu golongan yang masuk surga terebut, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW. adalah: “Siapa saja yang berpegang dengan ajaranku dan para sahabatku” (HR. Hakim, Shahih. Lihat: “Silsilah Ahaadits Shahihah”, Al Albani, juz 1 hal 356 – 367)
Adapun ciri menonjol dari golongan-golongan yang masuk neraka, Rasulullah SAW. menerangkan: “Umatku akan terpecah menjadi 70 golongan lebih, fitnah yang besar menimpa umatku adalah kaum yang mengqiyaskan (menganalogikan) segala urusan dengan akalnya, mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram” (HR Bazzar, Thabrani, Ibnu Ali, Baihaqi, Abu Zur’ah, Ibnu Battah, Hakim, dan Ibnu Abdil Bar).
Syaikh Salman Al-Audah menukil sebanyak 15 hadits tentang perpecahan umat, dan yang selamat hanya satu golongan yang disebut Al Firqah An-Najiyah (golongan yang selamat) atau Ath Thaifah Al Manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan): itulah Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh para sahabat diantaranya: Abu Hurairah, Muawiyah, Abdullah Bin Amru bin Al-Ash, Auf bin Malik, Anas bin Malik, Abu Umamah, Ibnu Mas’ud, Jabir bin Abdullah, Saad bin Abi Waqash, Abu Darda’, Wathilah bin Asyqa, Amru bin Auf Al-Muzani, Ali bin Abi Thalib dan Abu Musa Al-Asy’ari ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in (Firqatun Najiyah, Salman Al-Audah, hal 21-31) Kedudukan hadits-hadits itu shahih dan sangat terkenal di kalangan para ahli Hadits. Di antara mereka yang mencatat hadits tersebut adalah: Ibnu Abi Sya ibah (W. 235 H), Ahmad (W. 241 H), Ad Darimi (W. 255 H) Ibnu Majah (W. 273 H) Abu Daud (W. 275 H) At Tirmidzi (W. 279 H) Ibnu Wadhdhoh (W. 286 H), Ibnu Abi Ashim (W. 287 H), dll. Dengan demikian tidak ada alasan untuk menggugat kedudukan hadits tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah intelektual samisal Dr. Abdurrahman Badawi dan Dr. Quraish Shihab. Yang tersebut terakhir menyatakan dalam artikelnya yang dimuat dalam Jurnal Studia Islamica, Vol I, bahwa hadits yang shahih itu kebalikan dari hadits tersebut di atas: yaitu tujuh puluh dua di surga dan satu di neraka. Untuk mendukung pendapatnya, beliau mengutip ungkapan Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar, juz 8 ketika menafsirkan surah Al-An’am:169. Sayang, beliau tidak menukil komentar dan bantahan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha terhadap ungkapan gurunya tersebut bahwa hadits tersebut tidak ada asalnya dan ditolak oleh ulama ahli hadits.
Orang yang pertama kali menyebutkan istilah “Ahlu Sunnah Wal Jamaah” adalah Ibnu Abbas ra. sebagaimana disebutkan oleh Al-Lalikai dalam bukunya “Syarhu I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah”, ketika menafsirkan ayat Al-Qur’an pada surat Al Imran ayat 106 :
(arab)
“Pada hari muka-muka menjadi putih, yakni Ahlu Sunnah Wal Jamaah; dan muka-muka menjadi hitam yakni Ahlul Bid’ah”
Tentunya Ibnu Abbas ra. ketika menyebutkan nama Ahlu Sunnah Wal Jamaah beliau merujuk pada keterangan-keterangan Rasulullah SAW. Dan istilah Ahlu Sunnah Wal Jamaah semakin dikenal pada abad-abad berikutnya, terutama saat pemerintah Abbasiyah di bawah kepemimpinan khalifah Al Makmun, memaksakan faham Mu’tazilah kepada umat Islam, yang terkenal dengan nama masalah “Khalqul Qur an” (apakah Al-Qur’an itu ciptaan Allah SWT atau firman-Nya). Saat itulah, Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hambal ra. tampil gigih mempertahankan Al Haq, hingga istilah Ahlu Sunnah Wal Jamaah semakin dikenal. Adapun tentang pendapat bahwa istilah Ahlu Sunnah Wal Jamaah baru dikenal pada masa Abu Hasan Al-Asy’ari adalah tidak benar dan bertentangan dengan kenyataan dan sejarah. Yang benar adalah, bahwa pada masa beliau istilah Ahlus Sunnah semakin populer, terutama di akhir hidup beliau saat menulis buku beliau yang terkenal: Al-Ibanah ‘An Ushulid Diyanah.
Ciri-ciri Ahlu Sunnah Wal Jamaah
Ada sejumlah indikasi bahwa seseorang dapat digolongkan dalam ‘keluarga besar’ Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang kami simpulkan dari pendapat-pendapat para ulama, sbb.:
1. Berpegang kepada Qur’an, Hadits dan Ijma sebagai sumber hukum dan aqidah
2. Berpegang kepada aqidah Salaf (yaitu aqidah Rasulullah, para shahabat dan yang mengikuti mereka sampai generasi ketiga) baik secara global maupun secara rinci. Termasuk yang paling pokok adalah Tauhid Al-Ilmi Al-Khabari (mengesakan Allah dalam Rububiyah-Nya, Nama-Nama-Nya, Sifat-Sifat-Nya) dan Tauhid Amali Thalabi (Tauhid Uluhiyah bahwa tidak ada yang patut di sembah selain Allah)
3. Ilmu Agama bersumber dari keterangan-keterangan Rasulullah SAW. dengan keyakinan tidak sekecil apapun yang dilupakan olehNya.
4. Beramal shalih sesuai dengan petunjuk Rasulullah sebagai suri tauladan dalam segala aspek kehidupan
5. Landasan langkahnya adalah Ittiba’ (mengikuti) Rasulullah SAW. dan tidak menambah-nambah (berbuat bid’ah). Inilah yang dikatakan oleh Hasan Al Banna bahwa banyak orang mengaku pengikut Nabi Muhammad SAW., tetapi pengakuan tidak berarti hingga dia betul-betul melaksanakan perintah Allah SWT. dalam firman-Nya:
“Katakan (wahai Muhammad) kalau kalian betul mencintai Allah, maka hendaklah kalian mengikuti aku, maka kalian akan dicintai Allah” (QS. Ali Imran: 31)
6. Berupaya untuk melakukan pembersihan diri dari akhlak dan perilaku tercela serta membangun diri di atas akhlak dan perilaku terpuji. Upaya itu dilakukan terus menerus sehingga menjadi jiwa yang muthmainnah (tenang).
7. Melakukan misi amar ma’ruf (menyuruh yang baik) dan nahi mungkar (mencegah yang mungkar). Ma’ruf berupa segala hal yang baik menurut agama dan akal. Mungkar adalah hal yang buruk menurut keduanya.
Karena misi amar ma’ruf dan nahi mungkar inilah umat Islam diberi julukan oleh Allah SWT. sebagai “Umat Terbaik” (QS.Ali Imran:110). Dinamika amar ma’ruf dan nahi mungkar ini pula yang menyebabkan masyarakat dan negara menjadi terkendali dan terkontrol. Sebaliknya, jika amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak berjalan sebagaimana mestinya, yang kemudian terjadi adalah karamnya bahtera kehidupan manusia.
8. Bersatu dan bersama-sama menegakkan kebenaran. Kebersamaan menjadikan Ahlu Sunnah Wal Jamaah menjadi kelompok yang mayoritas. Kebersamaan adalah rahmat bagi umat, sedang perpecahan umat adalah azab dan bencana (HR Ahmad). Meninggalkan Sunnah berarti keluar dari Jamaah. (HR Ahmad dan Hakim dengan sanad shahih)
Demikianlah kriteria-kriteria yang meskipun tidak mencakup secara keseluruhan, namun diharapkan cukup untuk sekedar mendekatkan kita pada bentuk dan warna Ahlu Sunnah Wal Jamaah.. Hingga ketika berhadapan dengan kelompok lain, adalah mudah untuk mendefinisikan mereka, apakah termasuk Ahlus Sunnah Wal Jamaah atau tidak, Wallahu a’lam.
Pokok-pokok Keyakinan Ahlu Sunnah Wal Jamaah
1. Sumber aqidah adalah Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ Salaf Shalih
2. Semua yang terdapat dalam Al-Qur’an merupakan syariat bagi umat Islam dan semua hadits yang shahih dari Rasulullah SAW. wajib diterima meskipun hadits Ahad (hadits yang belum sampai pada derajat mutawatir -peny)
3. Rujukan dalam memahami Al-Quran dan As-Sunah adalah teks-teks itu sendiri, pemahaman para Salafush Shalih serta mereka yang mengikuti mereka.
4. Pokok-pokok agama sudah dijelaskan semua oleh Rasulullah SAW. Tidak seorang pun yang berhak membuat ketentuan baru dalam agama dan menisbatkannya kepada agama
5. Tunduk patuh kepada Allah dan Rasulullah SAW. baik lahir maupun batin dan tidak boleh menolak Al Quran dan Sunnah Shahihah dengan pendapat dan semacamnya.
6. Akal yang benar selalu bersesuaian dengan dalil yang shahih, tidak ada kontradiksi antara keduanya. Apabila tampak kontradiktif, maka dalil harus dimenangkan
7. Berpegang dengan istilah Syar’i dalam aqidah dan menjauhi istilah bid’ah
8. Rasulullah SAW terjaga dari salah dan dosa dan keseluruhan umat terjaga dari kesesatan
9. Pada saat terjadi perselisihan di antara umat Islam maka harus kembali pada Al Quran dan As-Sunnah
10. Mimpi yang baik merupakan bagian dari kenabian. Firasat yang benar adalah hak dan merupakan karamah dan kabar gembira selama bersesuaian dengan syariat Islam dan tidak merupakan sumber serta rujukan aqidah dan syariah
11. Perdebatan dalam agama untuk memperebutkan kemenangan adalah tercela. Sedang perdebatan dengan cara yang baik adalah terpuji dan tidak perlu membicarakan hal-hal yang terlarang
12. Harus berpegang dengan ketentuan wahyu dalam membantah fihak yang salah.Tidak dibenarkan membantah bid’ah dengan bid’ah pula. Dan setiap sikap ekstrim tidak boleh ditanggapi dengan sikap yang sama.
13. Setiap yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu di neraka. #
Footnote :
Banyak para ulama yang menjelaskan tentang keyakinan Ahlus Sunnah dengan sebutan As-Sunnah seperti Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abi Ashim, dll
Ali Bin Ahmad Bin Said Bin Hazm, seorang ulama dari Andalusia (Spanyol), lahir di Cordova, (l. 384 H – w. 456 H)
Ahmad bin Abdul Halim, seorang ulama terkenal dari Damaskus (l. 661 H – w. 728 H)
Lebih lanjut, lihat kitab “Mas’alah Ta’rif Baina Ahlu Sunnah Wa Syi ah” oleh Nasir Al-Ghifari Sahabat Nabi yang memperoleh kehormatan mengetahui seluk beluk kaum munafik (?)
Sahabat Nabi SAW. yang ahli di bidang tafsir Al-Quran
Khawarij adalah golongan yang menolak perdamaian lewat jalur Tahkim antara kelompok Ali bin Abi Thalib ra. yang diwakili Abu Musa Al Asy’ari ra. dan kelompok Muawiyah ra. yang diwakili oleh Amru bin Ash ra. Ibnu Hazm berkomentar: “Mereka adalah orang-orang Baduy yang menguasai Al-Quran tetapi tidak menguasai Sunnah Nabi SAW. (“Al-Fishal”, Ibnu Hazm, juz 4, hal 168)
Syiah adalah golongan yang memproklamirkan dukungan sepenuhnya kepada Ali ra. Beliau dinobatkan oleh mereka sebagai Imam dan khalifah sesudah Rasulullah secara nash dan wasiat Nabi SAW. Mereka juga berkeyakinan bahwa imamah tidak boleh keluar dari keturunan Ali ra. yang jumlahnya dua belas (“Al-Milal Wan Nihal”, Ash-Syahrustani, juz 1 hal 146)
Qadariyah adalah faham yang mengatakan bahwa manusia bebas untuk menentukan tanpa ada campur tangan Tuhan. Pendirinya adalah Ma’bad Al Juhani (terbunuh tahun 80 H) di masa Ibnu Umar ra. Pemikiran itu kemudian dikembangkan oleh Ghailan Ad Dimasqy (terbunuh tahun 105 H) (Syarh Shohih Muslim, juz 1, hal 126-130 ; “Dirasat Fil Ahwa”, Dr. Nasir Al Aql, hal 245)
Jabbariyah adalah antitesa terhadap Qodariyah sebagai faham yang menyatakan bahwa manusia bergantung sepenuhnya atas ketentuan Allah. Manusia tak ubahnya seperti robot. Faham ini dikembangkan oleh Jahm bin Shafwan (terbunuh tahun 128 H) (“Dirasat Fil Ahwa”, Dr. Nasir Al Aql,, hal 260)
Murjiah adalah faham yang mengatakan bahwa seseorang yang beriman dijamin masuk surga, apapun bentuk amalnya (sekalipun dosa besar). Faham ini lahir pada saat fitnah tahun 83 H dibawah oleh Dzar bin Abdullah Al Hamadani (w. sebelum tahun 100 H) dan dikembangkan oleh Hammad bin Abi Sulaiman (w. 120 H) (Ibid, hal 248)
Jahmiyah adalah faham yang menolak Asma’ (Nama-nama) dan sifat-sifat Allah termasuk menolak bahwa Allah SWT telah berbicara pada Musa as. Pendiri faham ini adalah Al Jad bin Dirham terbunuh tahun 124 H (Ibid, hal 258)
Mu’tazilah adalah golongan yang berpendapat adalah orang yang fasiq akan berada di antara dua manzilah (kedudukan), yaitu tidak kafir tidak pula mukmin di dunia; dan di akhirat kelak berada di neraka. Faham ini dibawa oleh Washil bin Atha’ (w. 131 H) dan Amru bin Ubaid (w. 141 H). Faham ini kemudian berkembang dengan lebih mengandalkan logika (ibid, hal 257)
Asy’ariyah adalah golongan Ahli Kalam (Teologi) yang menggunakan logika untuk membantah kelompok Mu’tazilah dan Falasifah (Ahli Filsafat) dalam mendukung kebenaran agama. Kelompok Asy’ariyah dinisbahkan pada Abul Hasan Ali Al-Asy’ari (l. 270 H – w. 324 H). Karangan beliau mencapai 300 kitab. Perkembangan pemikiran beliau berproses melalui tiga tahapan. Tahap pertama, hingga umur 40 tahun sebagai tokoh Mu’tazilah lewat bimbingan ayah tirinya Al-Jubai. Tahap kedua, beliau menggunakan pendekatan dan takwil sesuai mazhab Ibnu Al Kullop.(?) Tahap ketiga, beliau berpegang pada mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang juga disebut dengan mazhab Salaf dengan mengarang kitab “Al Ibanah” (Al Maujudah Al Muyassarah juz 1 hal 87; “Mas’alah Taqrif” oleh Dr. Ali Kifari, juz 1, hal 46)
Hibatullah Abul Qasim bin Hasan Al Lalikai, Imam Ahlus Sunah Wal Jamaah (w. 418 H)
Ibnu Abbas ra. adalah sahabat Nabi SAW. sekaligus sepupu beliau. Nabi SAW. mendoakannya agar menjadi Turjamanul Qur’an (Ahli Tafsir) dan terbukti kemudian beliau menjadi lautan ilmu dan pakar Tafsir (Al Mauzunah Al Muyassarah, sejumlah pengarang, juz 1 hal 40 – 41)
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menambah khasanah pengetahuan keislaman kita.
Wassalamu alikum wr. Wb.

0 komentar:

Posting Komentar

ikan ku

motivasi