Hisab Dan Rukyat dalam Kacamata Islam
by maz ipan on February 11, 2012
“KEMUHAMMADIYAHAN”
MEMBAHAS HISAB DAN RUKYAT
NAMA : IRFAN MAULANA
NIM : 2009470156
JURUSAN : TEKNIK INFORMATIKA
SEMESTER : V (LIMA)
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
Jl. Cempaka Putih Tengah No. 27 JAKARTA PUSAT Telp. 4244016, 4256024
Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahiim.
Alhamdulillah, atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa maka
akhirnya tugas ini dapat terselesaikan dengan baik. Puja dan puji
syukur mesti terucap kehadirat-Nya atas nikmat yang telah diberikan
kepada setiap makhluknya di dunia. Shalawat serta salam juga
tersampaikan kepada Rasulullah SAW, Panutan setiap muslim yang telah
membawa ajaran Islam ke muka bumi, membawa perdamaian dan jalan menuju
kebahagiaan yang hakiki.
Ucapan terima kasih saya sampaikan terhadap Bapak Suhur Samiun
selaku pembawa materi Kemuhammadiyahan, dengan sabar beliau selalu
menjelaskan materi yang dibawakannya agar saya dan teman – teman dapat
memahami dan menjalankan yang diajarkan dengan baik. Ucapan terima
kasih kedua saya haturkan kepada kedua orang tua, keluarga serta
kerabat sesama muslim yang tengah berjuang meraih Ridha dari Allah di
dunia agar dapat bahagia kelak diakhirat. Terima kasih terakhir saya
sampaikan kepada rekan sesama mahasiswa yang telah membantu dalam
proses penyusunan makalah ini hingga selesai.
Dan pada akhirnya kesempurnaan hanya milik Allah dan kekhilafan
adalah hak setiap manusia, maka dari itu saya sebagai penyusun makalah
ini selalu mengharapkan umpan balik dari para pembaca atas segala
konten yang dimuat dalam makalah ini, semoga segala kritik dan sarannya
bias menjadikan saya lebih rendah hati dan berusaha lebih baik pada
kesempatan berikutnya untuk menghasilkan karya yang lebih baik pula.
Terima Kasih,
Jakarta, Februari 2012
Penyusun,
Irfan Maulana
Daftar Isi
Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………………………………. 2
Daftar Isi …………………………………………………………………………..………………………………..……………. 3
Pendahuluan ………………………………………………………………………………………………..………………….. 4
Latar Belakang ………………………………………………………………………….…………………………. 4
Tujuan …………………………………………………………………………………..……………………………… 4
Metode Penelitian ……………………………………………………………..………………………………… 4
Pembahasan …………………………………………………………………………………………………….……………….5
Pengertian Dasar…………………………………………………………………………..……………………….5
Pengertian Lebih Lanjut ………………………………………………………………..……………………….5
Kriteria Penentuan Awal Bulan Kalender Hijriyah ……………………………….…………………7
Perbedaan Kriteria ………………………………………………………………………….…………………… 11
Mengapa Muhammadiyah Memakai Hisab ? …………………………………..……………………….. 11
Mendamaikan Hisab Dan Rukyat ………………………………………………….……………………… 15
Penutup ………………………………………………………………………………………………………………………….. 18
Kesimpulan ……………………………………………………………………………………………….………… 18
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………………….…………… 19
PENDAHULUAN
- 1. Latar Belakang
Rukyat dan Hisab adalah suatu metode yang digunakan oleh kita
sebagai muslim dalam menentukan berbagai pecahan waktu dan berkaitan
erat dengan proses ibadah seperti penentuan awal bulan ramadhan dan
awal bulan syawal. Dalam kaitannya dengan Ibadah tentu hal ini akan
sangat mempengaruhi dalam kelancaran proses pelaksanannya. Kesalahan
dalam penetapan waktu maka akan berdampak buruk bagi ummat.
Berangkat dari hal ini maka saya akan coba menyajikan sedikit
penjelasan sekaligus berbagi pengetahuan mengenai Hisab dan Rukyat.
Membahas beberapa poin penting yang mempengaruhi dua hal tersebut, cara
penetapan tanggal dan waktu yang benar serta pembahasan mengenai
pendapat dari berbagai tokoh dan lembaga mengenai Hisab dan Rukyat.
Tentunya dengan kaca global dan tidak menitik beratkan untuk membela
salah satu golongan ataupun menyalahkan salah satu pendapat, hanya
untuk menyajikan sebagai bahan pertimbanagan para pembaca sekalian.
Hasil akhir tentu kembali pada keyakinan masing – masing pribadi.
- 2. Tujuan
- Memberi pengetahuan kepada pembaca mengenai pengertian Hisab dan Rukyat.
- Menjelaskan berbagai pendapat dari beberapa tokoh mengenai hisab dan rukyat.
- Mencari jalan pendamaian akibat selisih paham mengenai kebenaran hisab dan rukyat.
- Mempertebal keimanan dan kepercayaan terhadap Allah dan Rasulullah.
- 3. Metode Penelitian
- Pengumpulan data dari literatur yang tersedia baik dari buku maupun
dari Internet, namun saya lebih mengedepankan literature dari Internet
karena kemudahannya aksesnya.
- Survey dan wawancara terhadap pihak yang dianggap lebih tau mengenai Hisab dan Rukyat.
PEMBAHASAN
- 1. Pengertian Dasar
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk
menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada
kalender Hijriyah.
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni
penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya
ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau
dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah
matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah matahari terbenam
(maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan
cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat,
maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan
(kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan
ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali
sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam.
Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan
(visibilitas) bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat
berumur 29 atau 30 hari.
- 2. Pengertian Lebih Lanjut
2.1 Hisab
Hisab secara harfiah perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab
sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan
posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari menjadi
penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya
waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui
terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam
kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal
Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta
awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan
Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Dalam Al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Tuhan memang
sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan
perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan
bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi
benda-benda langit (khususnya matahari dan bulan) maka sejak awal
peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom
muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al
Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (
software)
yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat
dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak
terjadi, yaitu saat matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi
sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris
terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang
sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau
disebut pula satu periode sinodik.
2.2 Rukyat
Salah satu contoh hasil pengamatan kedudukan hilal
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas
hilal, yakni
penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya
ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat
bantu optik seperti teleskop.
Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya matahari
pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di
ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari).
Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah
memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang
waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka
secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya
Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan “cahaya langit”
sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat
terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (
arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat.
Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi
CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut.
- 3. Kriteria Penentuan Awal Bulan Kalender Hijriyah
Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan
yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan
(yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal
(yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah
(dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari
Raya Idul Adha).
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan,
adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara
langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan
cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa
harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar
yang kuat.
Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:
1) Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender)
Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila
hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan
(kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.
Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:
Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)”.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU),
dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan
mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap
digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu
masuknya awal bulan Hijriyah.
2) Wujudul Hilal
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender)
Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah
terjadi sebelum Matahari terbenam (
ijtima’ qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (
moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (
altitude) Bulan saat Matahari terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis
dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk
tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah
tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan
metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau
memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul
Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus
bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan
adalah perintah Al-Qur’an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra’: 12, QS. Al
An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS.
Yasin: 36-40.
3) Imkanur Rukyat MABIMS
Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan
Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip:
Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
- Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
- Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Secara bahasa, Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan
terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyat dimaksudkan untuk
menjembatani metode rukyat dan metode hisab.Terdapat 3 kemungkinan
kondisi.
- Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak
dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat
dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
- Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal
dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar
akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah
masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
- Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal
tidak dapat dilihat secara rukyat. Tetapi secara metode hisab hilal
sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika
rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab
sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat
hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga
malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan
hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.
Meski demikian ada juga yang berpikir bahwa pada ketinggian kurang
dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan
ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini.Hal ini terjadi
pada penetapan 1 Syawal 1432 H / 2011 M.
Di Indonesia, secara tradisi pada petang hari pertama sejak
terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada bulan berjalan),
Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat (BHR)
melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan
dilanjutkan dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam
tersebut telah memasuki bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan
berjalan menjadi 30 hari. Prinsip Imkanur-Rukyat digunakan antara lain
oleh Persis
Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria
lainnya yang serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.
4) Rukyat Global
Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender)
Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk negeri melihat
hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah
memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum
melihatnya.
- 4. Perbedaan Kriteria
Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah
yang berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan,
yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa
Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.
Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada
tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya Jumat (3 April) mengikuti
Arab Saudi, yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula
yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat. Penetapan awal
Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993 dan
1994.Pada tahun 2011 juga terjadi perbedaan yang menarik. Dalam
kalender resmi Indonesia sudah tercetak bahwa awal Syawal adalah 30
Agustus 2011. Tetapi sidang isbat memutuskan awal Syawal berubah
menjadi 31 Agustus 2011. Sementara itu, Muhammadiyah tetap pada
pendirian semula awal Syawal jatuh pada 30 Agustus 2011. Namun
demikian, Pemerintah Indonesia mengkampanyekan bahwa perbedaan tersebut
hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan
kemantapan masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu
perbedaan.
- 5. Mengapa Muhammadiyah Memakai Hisab ?
Salah satu saat Muhammadiyah ‘naik’ di media massa adalah ketika
menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, Muhammadiyah yang memakai
metode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode
rukyat dalam menentukan masuknya bulan Qamariah. Hal ini menyebabkan
ada kemungkinan 1 Ramadhan dan 1 Syawwal versi Muhammadiyah berbeda
dengan pemerintah. Dan halini pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak
menerima kritik, mulai dari tidakpatuh pada pemerintah, tidak menjaga
ukhuwah Islamiyah, hingga tidak mengikutiRasullullah Saw yang jelas
memakai rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalangan Muhammadiyah
sendiri ada yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab ini.
Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits yaitu
“Berpuasalah
kamu karenamelihat hilal dan bebukalah (idul fitri) karena melihat
hilal pula. Jika bulanterhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah
bilangan bulan Sya’bantigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut (dan jugacontoh Rasulullah Saw) sangat jelas
memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulahyang mendasari adanya
pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya
referensi pada Rasulullah Saw. Lalu, mengapa Muhammadiyah bersikukuh
memakai metode hisab? Berikut adalah alasan-alasan yang saya ringkaskan
dari makalah
Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY.
Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal,yaitu
metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah
baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi
konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam,
dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan
argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah
sebagai berikut.
Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat
“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5).
Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan
beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau
diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak
kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya
untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit
Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut
Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah
perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat
zaman Nabi SAW adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak
memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam
hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”..Dalam
kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika
ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan
hisab,maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada
(sudah ada ahlihisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf
Al Qaradawi menyebutbahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan
hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al
Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan
hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan,
kecuali di tempat di mana tidak ada orangmengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat
umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal
tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.
Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini
tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000
tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem
kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak
dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat
memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk
bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyatpada visibilitas pertama tidak
mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang samaada muka bumi yang
dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.
Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang
selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat
melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat
melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran
artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24
jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan
rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10
jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan
sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik
tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena
keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa
apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat ituberlaku untuk
seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta
astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami
kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat
menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah
belum terjadi rukyat sementaradi kawasan sebelah barat sudah, atau di
Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga
bisa terjadi kawasan lain berbeda satu haridengan Makkah dalam memasuki
awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan
ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di
Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung baratitu. Kalau
kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu
Makkahpadahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat
sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat
memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan
karena itutidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara
selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan
pengorganisasian sistemwaktu Islam di dunia internasional sekarang
muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan
rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam
(Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun
2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir alKhittami
wa at Tausyiyah) menyebutkan:
“Masalah penggunaan hisab:
parapeserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan
bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali
berdasarkan penerimaanterhadap hisab dalam menetapkan awal bulan
Qamariah, seperti halnya penggunaanhisab untuk menentukan waktu-waktu
shalat”.
- 6. Mendamaikan Hisab Dan Rukyat
6.1. Kondisi Indonesia
Fenomena menarik di Indonesia, menjelang bulan puasa maupun lebaran,
yang hampir terjadi setiap tahunnya adalah kontroversi penentuan awal
bulan Ramdan dan Syawal. Kontroversi ini terjadi di beberapa organisasi
keagamaan dan lembaga pemerintahan yang ada di Indonesia. Untuk
mengetahui masuknya awal bulan, ada beberapa organisasi di antara
sekian banyak organisasi keagamaan bersikeras mengaplikasikan secara
independen metodologi hisab atau rukyat. Namun ada juga yang lebih
memilih untuk melakukan kalaborasi antara keduanya.
Ternyata, dinamika keagamaan seperti ini sulit dikendalikan. Apalagi
masing-masing dari mereka sama-sama merasa telah mengantongi legalitas
agama dan merasa sebagai kelompok yang mampu mengimplementasikan firman
Allah dan sabda rasul-Nya. Sebuah realita yang patut disayangkan;
bagaimana mungkin dalam sebuah negara mempunyai begitu banyak otoritas
dalam memberikan rekomendasi masuknya awal bulan Ramadan maupun Syawal,
sebagai tanda umat Islam mempunyai kewajiban berpuasa dan berhari raya.
Memang, sejauh ini, realita sosial masing-masing organisasi
keagamaan masih mampu menunjukkan sikap toleransi, meskipun dalam
tataran praktis di kalangan tertentu masih tetap terkontaminasi,
sehingga perbedaan itu berpotensi menciptakan terjadinya sentimen
keagamaan di luar paham kelompoknya. Inilah sebuah problem yang
tentunya membutuhkan gagasan solutif agar semua pihak tidak terjebak
pada pola berfikir partikular dan parsial sehingga mampu menciptakan
pola berfikir multidimensional dan komprehensif.
6.2. Legalisasi Metodologi Rukyah dan Hisab
Membicarakan metodologi rukyah (dalam konteks Indonesia) tentunya
tidak lepas dari organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU). Setiap
menjelang bulan puasa dan hari raya, organisasi ini secara konsisten
menggunakan metode rukyah sebagai skala prioritasnya, daripada metode
hisab. Legalitas metodologi rukyah yang digunakan bertendensi pada
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 dan banyak Hadis yang secara
eksplisit menggunakan redaksi
“rukyah” dalam
menentukan awal bulan awal puasa dan hari raya. Oleh karena itu
–menurut mereka, dengan mengacu pada pendapat mayoritas ulama– hadis
mengenai rukyah tersebut mempunyai kapasitas sebagai interpretasi
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 tersebut di atas. Jika bentuk
perintah pada redaksi Hadis sekaligus praktek yang dilakukan pada
periode nabi telah jelas menggunakan rukyah, mengapa harus menggunakan
metode hisab?
Pada kesempatan yang sama, organisasi keagamaan semisal Muhammadiyah
bersikeras menggunakan metodologi hisab dan meyakini bahwa metode ini
sebagai metode paling relevan yang harus digunakan umat Islam dewasa
ini. Argumen ini mengemuka salah satunya mengacu pada aspek akurasi
metodologis-nya. Menurut mereka, polusi, pemanasan global dan
keterbatasan kemampuan penglihatan manusia juga menyebabkan metode
rukyah semakin jauh relevansinya untuk dijadikan acuan penentuan awal
bulan.
Semangat al-Qur’an adalah menggunakan hisab, sebagaimana terdapat
pada surat al-Rahman ayat 5. Di sana menegaskan bahwa matahari dan
bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat
dihitung dan diteliti. Kapasitas ayat ini bukan hanya bersifat
informatif, namun lebih dari itu, ia sebagai motifasi umat Islam untuk
melakukan perhitungan gerak matahari dan bulan.
Mengenai redaksi
“syahida” dalam al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 185 itu bukanlah “melihat” sebagai interpretasinya, namun ia
bermakna “bersaksi”, meskipun dalam tataran praktis pesaksi samasekali
tidak melihat visibilitas hilal (penampakan bulan).
Memang, banyak hadis secara eksplisit memerintahkan untuk melakukan
rukyah, ketika hendak memasuki bulan Ramadan maupun Syawal. Namun
redaksi itu muncul disebabkan kondisi disiplin ilmu astronomi periode
nabi berbeda dengan periode sekarang, dimana kajian astronomi sekarang
jauh lebih sistematis sekaligus akurasinya lebih dapat
dipertanggungjawabkan. Nabi sendiri dalam sebuah hadisnya menyatakan
bahwa:
“innâ ummatun ummiyyatun, lâ naktubu wa lâ nahsubu. Al-Syahru hâkadzâ wa hâkadzâ wa asyâra biyadihi”, Artinya:
“Kita
adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan berhitung. Bulan itu
seperti ini dan seperti ini, (nabi berisyarat dengan menggunakan
tangannya)”.Jadi, memprioritaskan metode hisab merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan pada periode nabi.